Oleh: Ust. H. Ahmad Sarwat, Lc.
Di kalangan ulama berkembang banyak pendapat tentang hukum shalat berjamaah. Ada yang mengatakan fardhu `ain, sehingga orang yang tidak ikut shalat berjamaah berdosa. Ada yang mengatakan fardhu kifayah sehingga bila sudah ada shalat jamaah, gugurlah kewajiban orang lain untuk harus shalat berjamaah. Ada yang mengatakan bahwa shalat jamaah hukumnya fardhu kifayah. Dan ada juga yang mengatakan hukumnya sunnah muakkadah.
Berikut kami uraikan masing-masing pendapat yang ada beserta dalil masing-masing.
1. PendapatPertama: Fardhu Kifayah
Yang mengatakan hal ini adalah Al-Imam Asy-Syafi`i dan Abu Hanifah sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Habirah dalam kitab Al-Ifshah jilid 1 halaman 142. Demikian juga dengan jumhur (mayoritas) ulama baik yang lampau (mutaqaddimin) maupun yang berikutnya (mutaakhkhirin). Termasuk juga pendapat kebanyakan ulama dari kalangan mazhab Al-Hanafiyah dan Al-Malikiyah.
Dikatakan sebagai fardhu kifayah maksudnya adalah bila sudah ada yang menjalankannya, maka gugurlah kewajiban yang lain untuk melakukannya. Sebaliknya, bila tidak ada satu pun yang menjalankan shalat jamaah, maka berdosalah semua orang yang ada di situ. Hal itu karena shalat jamaah itu adalah bagian dari syiar agama Islam.
Di dalam kitab Raudhatut-Thalibin karya Imam An-Nawawi disebutkan bahwa:
Shalat jamaah itu itu hukumnya fardhu `ain untuk shalat Jumat. Sedangkan untuk shalat fardhu lainnya, ada beberapa pendapat. Yang paling shahih hukumnya adalah fardhu kifayah, tapi juga ada yang mengatakan hukumnya sunnah dan yang lain lagi mengatakan hukumnya fardhu `ain.
Adapun dalil mereka ketika berpendapat seperti di atas adalah:
Dari Abi Darda` ra bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Tidaklah 3 orang yang tinggal di suatu kampung atau pelosok tapi tidak melakukan shalat jamaah, kecuali syetan telah menguasai mereka. Hendaklah kalian berjamaah, sebab srigala itu memakan domba yang lepas dari kawanannya.” (HR Abu Daud 547 dan Nasai 2/106 dengan sanad yang hasan)
Dari Malik bin Al-Huwairits bahwa Rasulullah SAW, `Kembalilah kalian kepada keluarga kalian dan tinggallah bersama mereka, ajarilah mereka shalat dan perintahkan mereka melakukannya. Bila waktu shalat tiba, maka hendaklah salah seorang kalian melantunkan azan dan yang paling tua menjadi imam.(HR Muslim 292 – 674).
Dari Ibnu Umar ra bahwa Rasulullah SAW bersabda, `Shalat berjamaah itu lebih utama dari shalat sendirian dengan 27 derajat. (HR Muslim 650, 249)
Al-Khatthabi dalam kitab Ma`alimus-Sunan jilid 1 halaman 160 berkata bahwa kebanyakan ulama As-Syafi`i mengatakan bahwa shalat berjamaah itu hukumnya fardhu kifayah bukan fardhu `ain dengan berdasarkan hadits ini.
2. Pendapat Kedua: Fardhu `Ain
Yang berpendapat demikian adalah Atho` bin Abi Rabah, Al-Auza`i, Abu Tsaur, Ibnu Khuzaemah, Ibnu Hibban, umumnya ulama Al-Hanafiyah dan mazhab Hanabilah. Atho` berkata bahwa kewajiban yang harus dilakukan dan tidak halal selain itu, yaitu ketika seseorang mendengar azan, haruslah dia mendatanginya untuk shalat. (lihat Mukhtashar Al-Fatawa Al-MAshriyah halaman 50).
Dalilnya adalah hadits berikut:
Dari Aisyah ra berkata, `Siapa yang mendengar azan tapi tidak menjawabnya (dengan shalat), maka dia tidak menginginkan kebaikan dan kebaikan tidak menginginkannya. (Al-Muqni` 1/193)
Dengan demikian bila seorang muslim meninggalkan shalat jamaah tanpa uzur, dia berdoa namun shalatnya tetap syah.
Dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda, `Sungguh aku punya keinginan untuk memerintahkan shalat dan didirikan, lalu aku memerintahkan satu orang untuk jadi imam. Kemudian pergi bersamaku dengan beberapa orang membawa seikat kayu bakar menuju ke suatu kaum yang tidak ikut menghadiri shalat dan aku bakar rumah-rumah mereka dengan api.” (HR Bukhari 644, 657, 2420, 7224. Muslim 651 dan lafaz hadits ini darinya).
3. Pendapat Ketiga: Sunnah Muakkadah
Pendapat ini didukung oleh mazhab Al-Hanafiyah dan Al-Malikiyah sebagaimana disebutkan oleh imam As-Syaukani dalam kitabnya Nailul Authar jilid 3 halaman 146. Beliau berkata bahwa pendapat yang paling tengah dalam masalah hukum shalat berjamaah adalah sunnah muakkadah. Sedangkan pendapat yang mengatakan bahwa hukumnya fardhu `ain, fardhu kifayah atau syarat syahnya shalat, tentu tidak bisa diterima.
Al-Karkhi dari ulama Al-Hanafiyah berkata bahwa shalat berjamaah itu hukumnya sunnah, namun tidak disunnahkan untuk tidak mengikutinya kecuali karena uzur. Dalam hal ini pengertian kalangan mazhab Al-Hanafiyah tentang sunnah muakkadah sama dengan wajib bagi orang lain. Artinya, sunnah muakkadah itu sama dengan wajib. (silahkan periksan kitab Bada`ius-Shanai` karya Al-Kisani jilid 1 halaman 76).
Khalil, seorang ulama dari kalangan mazhab Al-Malikiyah dalam kitabnya Al-Mukhtashar mengatakan bahwa shalat fardhu berjamaah selain shalat Jumat hukumnya sunnah muakkadah. Lihat Jawahirul Iklil jilid 1 halama 76.
Ibnul Juzzi berkata bahwa shalat fardhu yang dilakukan secara berjamaah itu hukumnya fardhu sunnah muakkadah. (lihat Qawanin Al-Ahkam As-Syar`iyah halaman 83). Ad-Dardir dalam kitab Asy-Syarhu As-Shaghir jilid 1 halaman 244 berkata bahwa shalat fardhu dengan berjamaah dengan imam dan selain Jumat, hukumnya sunnah muakkadah.
Dalil yang mereka gunakan untuk pendapat mereka antara lain adalah dalil-dalil berikut ini:
Dari Ibnu Umar ra bahwa Rasulullah SAW bersabda, `Shalat berjamaah itu lebih utama dari shalat sendirian dengan 27 derajat. (HR Muslim 650, 249)
Ash-Shan`ani dalam kitabnya Subulus-Salam jilid 2 halaman 40 menyebutkan setelah menyebutkan hadits di atas bahwa hadits ini adalah dalil bahwa shalat fardhu berjamaah itu hukumnya tidak wajib.
Selain itu mereka juga menggunakan hadits berikut ini:
Dari Abi Musa ra berkata bahwa Rasulullah SAw bersabda, `Sesungguhnya orang yang mendapatkan ganjaran paling besar adalah orang yang paling jauh berjalannya. Orang yang menunggu shalat jamaah bersama imam lebih besar pahalanya dari orang yang shalat sendirian kemudian tidur. (lihat Fathul Bari jilid 2 halaman 278)
4. Pendapat Keempat: Syarat Syahnya Shalat
Pendapat keempat adalah pendapat yang mengatakan bahwa hukum syarat fardhu berjamaah adalah syarat syahnya shalat. Sehingga bagi mereka, shalat fardhu itu tidak syah kalau tidak dikerjakan dengan berjamaah.
Yang berpendapat seperti ini antara lain adalah Ibnu Taymiyah dalam salah satu pendapatnya (lihat Majmu` Fatawa jilid 23 halaman 333). Demikian juga dengan Ibnul Qayyim, murid beliau. Juga Ibnu Aqil dan Ibnu Abi Musa serta mazhab Zhahiriyah (lihat Al-Muhalla jilid 4 halaman 265). Termasuk di antaranya adalah para ahli hadits, Abul Hasan At-Tamimi, Abu Al-Barakat dari kalangan Al-Hanabilah serta Ibnu Khuzaemah.
Dalil yang mereka gunakan adalah:
Dari Ibnu Abbas ra bahwa Rasulullah SAw bersaba, `Siapa yang mendengar azan tapi tidak mendatanginya, maka tidak ada lagi shalat untuknya, kecuali karena ada uzur.(HR Ibnu Majah793, Ad-Daruquthuny 1/420, Ibnu Hibban 2064 dan Al-Hakim 1/245)
Dari Abi Hurairah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya shalat yang paling berat buat orang munafik adalah shalat Isya dan Shubuh. Seandainya mereka tahu apa yang akan mereka dapat dari kedua shalat itu, pastilah mereka akan mendatanginya meski dengan merangkak. Sungguh aku punya keinginan untuk memerintahkan shalat dan didirikan, lalu aku memerintahkan satu orang untuk jadi imam. Kemudian pergi bersamaku dengan beberapa orang membawa seikat kayu bakar menuju ke suatu kaum yang tidak ikut menghadiri shalat dan aku bakar rumah-rumah mereka dengan api.” (HR Bukhari 644, 657, 2420, 7224. Muslim 651 dan lafaz hadits ini darinya).
Dari Abi Hurairah ra berkata bahwa Rasulullah SAW didatangi oleh seorang laki-laki yang buta dan berkata, “Ya Rasulullah, tidak ada orang yang menuntunku ke masjid. Rasulullah SAW berkata untuk memberikan keringanan untuknya. Ketika sudah berlalu, Rasulullah SAW memanggilnya dan bertanya, `Apakah kamu dengar azan shalat?`. `Ya`, jawabnya. `Datangilah`, kata Rasulullah SAW. (HR Muslim 1/452).
Kesimpulan:
Setiap orang bebas untuk memilih pendapat manakah yang akan dipilihnya. Dan bila kami harus memilih, kami cenderung untuk memilih pendapat menyebutkan bahwa shalat berjamaah itu hukumnya sunnah muakkadah, karena jauh lebih mudah bagi kebanyakan umat Islam serta didukung juga dengan dalil yang kuat. Meskipun demikian, kami tetap menganjurkan umat Islam untuk selalu memelihara shalat berjamaah, karena keutamaannya yang disepakati semua ulama.
(HR Ibnu Majah 1/202, An-Nasai 3/112, Ibnu Khuzaemah 3/173, Al-Hakim dalam Al-Mustadrak 1/291 dia menshahihkan hadits ini hadits ini dari tiga jalannya).
Wallahu a’lam bishshawab.
Sumber: http://www.eramuslim.com/
Assalamu’alaikum wr wb..
Mohon penjelasan mengenai hukum-hukum dalam sholat berjamaah sebagai berikut:
1. Bolehkah seorang makmum masbuk, kemudian menjadi imam dalam satu waktu sholat. karena adanya jamaah lain yang menyusul setelahnya? seandainya tidak boleh mohon penjelasan mengenai tata caranya mngingatkan hal tersebut, dan mohon dasar hukumnya.
2. Bagaimanakah hukumnya ketika seseorang yg sedang melaksanakan sholat sunnah, di susul oleh jamaah yang hendak menjadi makmumnya namun niatan sholatnya berbeda (misal sholat fardhu).? adakah riwayat atau dasar hukumnya?
Syukron sebelumnya atas jawabanya terimakasih
Wassalamu’alaikum
Dwi P
Saya setuju Kalau shalat jama’ah itu hukum’a wajib
kalau saya lebih setuju solat berjamaah hukumnya wajib. Kalau seseorang ada uzur yang dapat dibenar oleh agama, misalnya sakit, dalam perjalanan dll., tentulah ada keringanan dalam beragama. agama itu mudah, cuma jangan dibuat mudah. kalau sholat berjamaah dimasjid hukumnya bukan wajib, maka orang akan menganggap sepele sholat berjamaah. sehingga masjid-masjid akan kosong, ndak ada orang yang sholat berjamaah, kalaupun ada paling hanya sedikit. Dan orang akan beranggapan bahwa hukum sunnat itu hal yang sepele. padahal sholat berjamaah itu telah diamalkan oleh Rasulullah SAW sampai kepada ulama-ulama terdahulu tidak pernah meninggalkan sholat berjamaah. sedangkan kita selalu ribut mempermasalahkan hukum sholat berjamaah di masjid, sunnat atau wajib tetapi kita tidak melaksanakan bagaimana Rasulullah Sholat. katanya kita mengaku ummat beliau, tetapi mengapa masjid banyak kosong, apalagi sholat subuh. semoga Allah SWT memberikan hidayah kepada kita semua, aamiin.
Apa kita turs menyalahkan ulama’ yg telah beristihaj mengenai hal tsb,kt tdk bs menyalahkan yg berpendapat sunnah muakad,krn itu smua jg berdsarkan dalil,krn banyak jg dali yg mengatakn nabi jg pernah sholat dirumah
anehnya, kenapa kita lebih memilih sholat yg berpahala 1 derajat dibanding 27 derajat? terus saya pernah dengar ceramah, sholat yg paling baik itu adalah, sholat yang di kerjakan di awal waktu, di masjid, dan berjamaah..
jadi kenapa kita memilih sholat sendiri di rumah?
klo disuruh memilih sayatidak memilih yang sunah muakkad, fardhu kifayah .tapi saya pilih fardhu ain dan memilih yang keempat . hanya orang pemalas dan munafik yang mengaku islam yang memilih fardhu kifayah. karena rasullullah sendiri semasa hidupnya gak pernah meninggalkan shalat berjemaah jadi knapa mesti ikiut imam mahzab sendangkan mereka juga dhaif jadi lebih baik ikut rasulullah . itu yang benar . jangan mengaku islam klo tidak mengerjakan sholat berjemaah . itu sama dengan menentang rasulullah
Krn antum mngkin blm menemukan/ membaca dalil2 yg menerangkan bahwa nabi jg pernah sholat fardhu dirumah.
Mengapa harus mengerjakan shalat dengan berjamaah?
Apakah keutamaan shalat secara berjamaah?
jangan mengatakan saudara kita adalah pemlas ataupun munafik,sy yakin ari itu orangnya lebih pantas dikatakan pemlas dan mungkin juga seorang yg munafik,sy rasa itu sebuah pilihan,menurut sy mo jamaah alhamdulillah mo sendiri jg ndak pa2,yg jelas mari berlomba untuk kebaikan bukan sekedar mengatakan orang lain sbg pemalas ataupun munafik,toh itu untuk kita juga pahala yg kita dpat bukan tuk sapa2